BANG ANCIS - Udara Bali pagi ini terasa berbeda. Ada aroma dupa yang tipis, bercampur dengan wangi masakan dari dapur-dapur yang sibuk sejak dini hari. Di setiap tikungan jalan, penjor-penjor bambu yang dihias janur melengkung anggun, seolah menunduk memberi selamat kepada siapa saja yang lewat. Hari ini, Rabu, 19 November 2025, adalah puncak perayaan Galungan.
Ini bukan sekadar hari libur. Ini adalah hari kemenangan. Kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma). Gema ucapan "Rahajeng Rahina Galungan" terdengar tulus dari satu bibir ke bibir lainnya, menjadi penanda sebuah perayaan spiritual yang mendalam.
| Gambar dari Pixabay |
Makna Kemenangan di Balik Penjor yang Menjulang
Bagi umat Hindu, khususnya di Bali, Galungan adalah pengingat abadi. Sebuah penanda bahwa perjuangan menegakkan kebenaran pada akhirnya akan selalu menang.
Dharma Melawan Adharma: Bukan Sekadar Mitos
Kisah kemenangan Dharma bukanlah dongeng pengantar tidur. Ia adalah pertarungan yang terjadi setiap hari di dalam diri kita. Mengalahkan kemalasan, keserakahan, dan amarah adalah wujud kemenangan Adharma dalam skala personal. Galungan menjadi momentum untuk merayakan kemampuan kita mengendalikan sisi-sisi negatif tersebut.
Perayaan ini menjadi simbol bersatunya kekuatan rohani untuk melawan segala hal buruk. Umat percaya, pada hari inilah para leluhur turun ke bumi untuk memberikan berkat. Inilah momen sakral untuk menyatukan kembali ikatan keluarga, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada.
Dari Sugihan hingga Penampahan: Proses Penyucian Diri
Kemenangan hari ini tidak datang tiba-tiba. Ia didahului oleh serangkaian ritual penyucian yang penuh makna. Ada Sugihan Jawa untuk membersihkan alam semesta, disusul Sugihan Bali untuk menyucikan diri sendiri (Bhuana Alit).
Puncaknya adalah pada hari Penampahan, sehari sebelum Galungan. Hari itu ditandai dengan penyembelihan hewan sebagai simbol untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan dalam diri. Seluruh rangkaian ini adalah perjalanan spiritual untuk mempersiapkan jiwa menyambut kemenangan Dharma.
Ucapan Bukan Sekadar Kata, Tapi Doa yang Mengalir
Di tengah khidmatnya perayaan, ada satu hal yang terus mengalir deras: ucapan. Kalimat-kalimat dalam bahasa Bali yang dipertukarkan bukan hanya basa-basi, melainkan doa.
"Rahajeng Rahina Galungan": Gema Kebahagiaan di Pulau Dewata
Ucapan "Rahajeng Rahina Galungan lan Kuningan, semeton sareng sami" menggema di mana-mana. Artinya adalah "Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan, saudara semua." Di dalamnya terselip doa dan harapan agar kesejahteraan dan kebahagiaan selalu menyertai.
Ucapan-ucapan ini menjadi jembatan silaturahmi. Ia mempererat tali persaudaraan, mengingatkan bahwa kemenangan Dharma adalah kebahagiaan yang harus dirayakan bersama-sama. Ini adalah humanisme dalam bentuknya yang paling murni.
Menuju Kuningan: Mengantar Leluhur dengan Syukur
Perayaan tidak berhenti di sini. Sepuluh hari setelah Galungan, umat akan menyambut Hari Raya Kuningan. Jika Galungan adalah hari penyambutan leluhur, Kuningan adalah momen untuk menghaturkan syukur dan mengantar mereka kembali ke alamnya.
Warna kuning akan mendominasi sebagai lambang kemuliaan dan kesejahteraan. Seluruh rangkaian ini mengajarkan sebuah siklus kehidupan yang harmonis: tentang penyucian, kemenangan, rasa syukur, dan perpisahan yang penuh hormat. Sebuah pelajaran hidup yang terus relevan hingga kini.
#GalungandanKuningan #TradisiBali #UmatHindu

