BANG ANCIS - Di tengah terik yang memanggang Lamongan, ada oase di lahan Pak Misto. Air mengalir deras, bukan dari saluran irigasi pemerintah yang sering macet, tapi dari kreativitas tingkat dewa seorang petani desa. Namanya Misto, panggil saja begitu.
Ia bukan insinyur, sekolahnya pun tak tinggi. Tapi otaknya lebih encer dari air yang kini mengairi sawahnya yang menghijau ranum. Saat petani lain mengeluh kekeringan, Pak Misto justru sibuk memanen.
| Gambar dari Pixabay |
Dari Mimpi Buruk Kekeringan
Kisah ini berawal dari keputusasaan. Bertahun-tahun, Pak Misto dan petani lain di desanya hanya bisa menanam padi sekali setahun, menunggu berkah hujan dari langit. Sisanya, lahan mereka retak seribu.
Ancaman Gagal Panen
Setiap kemarau datang, sawah menjadi medan perang melawan nasib. Tanaman padi yang mulai menguning, tiba-tiba layu dan mati kekeringan di depan mata. Pupuk dan tenaga seolah hilang tak berbekas.Sungai yang Tak Terjangkau
Sumber air sebenarnya ada, sebuah sungai kecil di ujung desa. Namun, letaknya jauh lebih rendah dari sawah-sawah warga. Butuh biaya besar untuk menyedotnya ke atas, biaya yang tak mungkin ditanggung petani kecil.Lahirnya Pompa Naga
Pak Misto tidak menyerah. Siang ia bertani, malam ia menjadi pemulung, mengumpulkan rongsokan: drum bekas, paralon sisa, bahkan gir sepeda tua. Tetangganya mengira ia sudah gila.Rongsokan Jadi Harapan
Di tangannya, barang-barang tak berguna itu mulai berubah bentuk. Dengan pengetahuan fisika sederhana yang ia pelajari entah dari mana, ia merakit sebuah pompa air tanpa listrik. Ia menamainya "Pompa Naga" karena bentuknya yang panjang dan meliuk.Air Mengalir, Panen Berlimpah
Benar saja, Pompa Naga itu berhasil! Dengan memanfaatkan aliran sungai yang landai, pompa rakitannya mampu mendorong air naik ke sawah-sawah di atasnya. Kini, Pak Misto bisa panen tiga kali setahun, saat yang lain masih menatap langit. Inovasinya kini menjadi harapan baru bagi seluruh desa.#InovasiPertanian #PetaniInspiratif #TeknologiTepatGuna

