Tips Biar Nggak Burnout Waktu Kerja Remote

BANGANCIS - Budi bukan nama sebenarnya. Tapi kisahnya sangat nyata. Ia salah satu dari jutaan orang yang mimpinya terkabul saat pandemi: kerja dari rumah. Atau lebih tepatnya, kerja dari kampung halamannya di kaki gunung.

Awalnya, semua terasa indah. Tidak ada lagi macet Jakarta yang menyiksa. Tidak ada lagi ongkos transportasi yang menguras kantong. Setiap pagi, ia bisa menyesap kopi sambil memandang sawah hijau, bukan gedung-gedung beton yang menjemukan.

Gambar Ilustrasi Artikel
Gambar dari >Pixabay

Namun, bulan keenam, sesuatu mulai terasa salah. Batas antara jam kerja dan jam istirahat mengabur. Laptopnya menyala dari sebelum matahari terbit hingga larut malam. Notifikasi grup kerja terasa seperti teror yang tak pernah berhenti, bahkan di hari Minggu.

Budi merasa lelah. Bukan lelah fisik seperti dulu, tapi lelah yang meresap sampai ke tulang. Ia menjadi mudah marah, sulit fokus, dan kehilangan gairah pada pekerjaan yang dulu ia cintai. Inilah yang orang sebut 'burnout'. Mimpi indahnya perlahan berubah menjadi penjara digital.

Membangun Benteng Antara Kerja dan Rumah

Budi sadar, masalahnya bukan pada kerja remote itu sendiri. Masalahnya ada pada ketidakmampuan dirinya membangun benteng. Benteng yang memisahkan dengan tegas mana area kerja dan mana area kehidupan pribadi di dalam satu atap yang sama.

Ia pun mulai melakukan eksperimen kecil. Mencoba mendisiplinkan diri dengan cara-cara yang tampak sepele, namun ternyata dampaknya luar biasa. Inilah awal perjalanannya merebut kembali hidupnya dari cengkeraman burnout.

Ritual Pagi dan Sore

Dulu, Budi bangun tidur langsung membuka laptop. Sekarang tidak lagi. Ia menciptakan 'ritual komuter palsu'. Setiap pagi setelah mandi, ia akan berganti pakaian kerja seolah-olah akan pergi ke kantor.

Kemudian, ia akan berjalan kaki keliling kompleks selama 15 menit. Ini adalah 'perjalanannya ke kantor'. Begitu pula saat sore hari. Tepat jam 5, ia mematikan laptop, berganti pakaian santai, dan kembali berjalan kaki. Ini 'perjalanan pulang'. Ritual ini memberi sinyal kuat pada otaknya: kapan harus mode kerja, dan kapan harus mode istirahat.

Ruang Kerja Adalah Sakral

Bekerja dari kasur atau sofa memang nyaman. Tapi itu juga yang membuat otaknya bingung. Seluruh area rumah terasa seperti kantor. Akhirnya, Budi mengorbankan satu sudut kamarnya.

Ia menata sebuah meja kecil yang hanya digunakan untuk bekerja. Tidak ada kegiatan lain di sana. Tidak ada makan, tidak ada nonton film, apalagi rebahan. Saat ia duduk di kursi itu, ia sedang bekerja. Saat ia beranjak dari sana, ia selesai bekerja. Ruang kerja yang sakral ini menciptakan batasan psikologis yang sangat kuat.

Mengisi Ulang Baterai Mental dan Sosial

Masalah kedua yang Budi hadapi adalah isolasi. Meskipun terkoneksi secara digital, ia merasa sendirian. Percakapan di grup chat terasa dangkal dan transaksional. Energi mentalnya terkuras tanpa ada asupan energi sosial yang sepadan.

Ia menyadari bahwa produktivitas bukan segalanya. Baterai mental dan sosial juga perlu diisi ulang secara berkala dan sengaja. Tanpa itu, mesin tubuhnya hanya akan berjalan menuju kerusakan total.

Jadwalkan Waktu 'Tidak Melakukan Apa-apa'

Di dunia kerja yang menuntut produktivitas, istirahat sering dianggap sebagai kemalasan. Budi membuang pemikiran itu. Ia mulai menjadwalkan 'waktu kosong' di kalendernya, sama seperti ia menjadwalkan rapat penting.

Selama 30 menit setiap siang, ia akan duduk di teras, tanpa ponsel, tanpa laptop. Ia hanya diam, memandang awan, atau mendengarkan suara alam. Awalnya terasa aneh dan tidak produktif. Tapi lama-kelamaan, sesi 'tidak melakukan apa-apa' ini justru membuatnya lebih fokus dan kreatif saat kembali bekerja.

Komunikasi Bukan Sekadar Teks

Mengandalkan chat untuk semua komunikasi ternyata melelahkan. Banyak konteks hilang, banyak potensi salah paham. Budi pun berinisiatif. Untuk hal-hal yang tidak mendesak, ia mengajak rekan kerjanya untuk melakukan panggilan video singkat.

Bukan untuk rapat formal, tapi sekadar ngobrol santai 5-10 menit. Menanyakan kabar, bercanda, atau membahas hobi. Interaksi tatap muka virtual ini berhasil mengembalikan aspek kemanusiaan dalam pekerjaannya. Ia tidak lagi merasa bekerja dengan deretan avatar, melainkan dengan manusia sungguhan. Kisah Budi adalah cermin bagi kita. Kerja remote adalah sebuah maraton, bukan sprint. Kuncinya bukan pada seberapa keras kita bekerja, tapi seberapa cerdas kita beristirahat.



#KerjaRemote #Burnout #KesehatanMental

Belanja Celana Boxer Cowok dan Cewek
LihatTutupKomentar
Cancel