BANGANCIS - Selembar uang biru Rp50 ribu di dompet seringkali terasa seperti ejekan. Ia cukup untuk membeli secangkir kopi mahal, tapi terasa mustahil untuk sebuah petualangan.
Tapi benarkah demikian? Bagi Budi, seorang mahasiswa tingkat akhir di Jakarta, uang segitu justru menjadi sebuah tantangan. Ia bosan dengan rutinitas kamar kos, namun tak punya cukup dana untuk plesiran mewah. Maka, lahirlah sebuah misi nekat: menaklukkan sudut-sudut ibu kota hanya dengan modal selembar uang biru itu. Ini bukan soal kikir, tapi soal kreativitas.
| Gambar dari >Pixabay |
Ini adalah kisah tentang bagaimana keterbatasan justru bisa membuka mata. Bahwa kebahagiaan seringkali tidak berbanding lurus dengan tebalnya dompet.
Merancang Misi Mustahil
Setiap petualangan hebat dimulai dari sebuah rencana matang. Budi tidak asal melangkah keluar pintu dengan Rp50 ribu di kantongnya.
Ia duduk semalaman dengan peta jalur TransJakarta di layar ponselnya. Ia tahu, kunci dari misinya adalah transportasi publik dan langkah kaki.
Peta di Tangan, Roti di Tas
Langkah pertama adalah menekan pengeluaran terbesar saat jalan-jalan: makanan dan minuman. Budi menyiapkan bekal sederhana dari kosnya. Dua buah roti isi selai dan sebotol air mineral penuh sudah cukup untuk mengganjal perut hingga sore.
Ini trik paling dasar namun paling sering dilupakan. Dengan membawa bekal, hampir separuh potensi pengeluaran sudah berhasil diamankan. Fokusnya kini murni pada biaya transportasi dan menikmati tujuan.
Memilih Rute Emas
Budi memilih koridor busway yang paling strategis. Pilihannya jatuh pada rute yang melintasi banyak ikon kota dalam satu jalur. Ia berencana memulai perjalanan dari Halte Blok M.
Rutenya adalah Blok M menuju Kota Tua. Di sepanjang jalur itu, ia bisa singgah di area GBK, melintasi Semanggi, melihat Monas dari kejauhan, hingga akhirnya tiba di pusat sejarah Jakarta. Semua itu hanya dengan beberapa kali transit, yang berarti biaya minimal.
Eksekusi Rp50 Ribu di Aspal Panas
Rencana sudah di tangan, kini saatnya eksekusi. Dengan ransel berisi bekal dan semangat penuh, Budi memulai perjalanannya di bawah terik matahari Jakarta.
Kartu uang elektroniknya menjadi senjata utama. Ia memastikan saldonya cukup, meski yang akan terpakai mungkin tak seberapa.
Kartu Sakti dan Langkah Kaki
Perjalanan dimulai. Tap-in di Halte Blok M, ongkos Rp3.500 langsung terpotong. Ia sengaja memilih duduk di dekat jendela, membiarkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit menjadi hiburan gratis. Ia turun di Halte Bundaran HI untuk sekadar berfoto dan merasakan atmosfer pusat kota.
Ia tidak berlama-lama. Setelah puas, ia kembali masuk halte dan melanjutkan perjalanan ke arah Monas. Di sini, ia turun dan berjalan kaki santai di taman luarnya. Menikmati ruang terbuka hijau tanpa perlu membayar tiket masuk. Dari sana, perjalanan berlanjut hingga pemberhentian terakhir: Kota Tua. Di kawasan ini, Budi menghabiskan waktu paling lama. Ia berjalan kaki menyusuri gedung-gedung tua, duduk di pelataran Museum Fatahillah, dan mengamati kehidupan kota yang sibuk.
Sisa Uang dan Kepuasan Batin
Sore hari, Budi memutuskan untuk pulang. Mari kita hitung pengeluarannya. Tiga kali naik TransJakarta (pergi, transit, pulang) menghabiskan biaya Rp3.500 x 3 = Rp10.500. Karena haus, ia membeli sebotol teh kemasan seharga Rp5.000 di sebuah warung kecil.
Total pengeluarannya hari itu: Rp15.500. Dari modal Rp50 ribu, masih tersisa Rp34.500 di sakunya. Ia pulang tidak hanya dengan sisa uang, tapi dengan kepuasan yang tak ternilai. Ia berhasil membuktikan bahwa untuk bahagia dan bertualang, yang dibutuhkan bukanlah uang banyak, melainkan niat dan cara pandang yang cerdas. Petualangan Budi adalah bukti nyata.
#TravelingHemat #TipsTraveling #LiburanMurah

