BANGANCIS - Pagi itu, saya mampir di warung kopi Pak Budi. Letaknya nyempil di antara gedung-gedung mentereng, tapi selalu ramai. Pak Budi, usianya sudah kepala enam, melayani dengan senyum yang tidak pernah luntur.
Tangannya lincah meracik kopi, menyodorkan piring berisi pisang goreng hangat. Tidak ada mesin kasir canggih, tidak ada interior Instagramable. Tapi, ada kehangatan yang membuat orang kembali. Saya iseng bertanya, "Nggak capek, Pak, tiap hari begini?" Beliau tertawa renyah. "Capek itu kalau mikirin yang nggak ada, Mas. Kalau syukuri yang ada, ya jadi tenaga."
| Gambar dari >Pixabay |
Jawaban sederhana itu menampar saya. Kita sering mencari resep bahagia di tempat yang jauh dan rumit. Padahal, mungkin bahagia itu seperti warung kopi Pak Budi: sederhana, hangat, dan ada di depan mata. Kitalah yang sering menambahkan bumbu drama, membuatnya jadi rumit dan terasa pahit.
Jebakan Pikiran yang Bikin Rumit
Kita hidup di zaman yang menuntut segalanya serba lebih. Lebih kaya, lebih sukses, lebih diakui. Tanpa sadar, pikiran kita membangun sendiri labirin kerumitan yang menjauhkan kita dari rasa cukup dan bahagia yang sejati.
Rumput Tetangga dan Layar Gawai
Penyebab drama paling umum adalah kebiasaan membandingkan. Dulu kita hanya melihat tetangga sebelah rumah. Sekarang, tetangga kita adalah seluruh dunia yang ada di genggaman tangan.
Kita membuka media sosial dan melihat teman liburan ke Eropa, membeli mobil baru, atau mendapat promosi jabatan. Seketika, kopi di tangan kita terasa hambar. Liburan kita ke puncak terasa biasa saja. Kita lupa, yang kita lihat adalah panggung depan mereka, sementara kita membandingkannya dengan kehidupan belakang panggung kita yang penuh lika-liku.
Skenario 'Bagaimana Jika' yang Tak Berujung
Pikiran kita adalah sutradara film horor yang andal. Kita belum mulai presentasi, tapi sudah membayangkan audiens bosan dan proyek ditolak. Kita akan berkenalan dengan orang baru, tapi sudah cemas akan dianggap tidak menarik.
Skenario-skenario "bagaimana jika" ini menguras energi kita untuk sesuatu yang belum tentu terjadi. Kita menghabiskan hari ini dengan mengkhawatirkan hari esok. Akibatnya, kita kehilangan momen saat ini, satu-satunya waktu yang benar-benar kita miliki.
Mencari Bahagia di Tempat yang Benar
Jika bahagia itu sederhana, di mana kita harus mencarinya? Jawabannya seringkali lebih dekat dari yang kita duga. Kuncinya adalah menggeser fokus, dari luar ke dalam, dari yang kurang ke yang sudah ada.
Seni Menikmati Secangkir Kopi Pagi
Kebahagiaan seringkali bersembunyi dalam hal-hal kecil yang kita anggap remeh. Cobalah sekali waktu, saat minum kopi di pagi hari, untuk benar-benar merasakannya. Hirup aromanya, rasakan kehangatan cangkir di tangan, nikmati setiap tegukannya tanpa sambil membuka ponsel.
Itulah yang disebut mindfulness, atau kehadiran penuh. Ketika kita hadir seutuhnya di sebuah momen, kita akan menemukan keindahan dalam kesederhanaan. Kita tidak perlu mendaki gunung tertinggi untuk merasakan kedamaian. Kadang, kedamaian itu ada di dasar cangkir kopi kita.
Bukan Soal 'Punya Apa', tapi 'Jadi Apa'
Kita sering terjebak dalam paradigma "saya akan bahagia jika punya...". Jika punya rumah besar, jika punya gaji dua digit, jika punya pasangan sempurna. Ini adalah kebahagiaan bersyarat yang rapuh dan melelahkan untuk dikejar.
Coba geser paradigmanya menjadi "saya bahagia karena menjadi...". Menjadi teman yang baik, menjadi anak yang berbakti, menjadi pekerja yang jujur. Kebahagiaan yang datang dari memberi, dari terhubung dengan orang lain, dan dari merasa berguna jauh lebih awet dan mendalam. Seperti Pak Budi, bahagianya bukan dari omzet warungnya, tapi dari senyum puas para pelanggannya.
Pada akhirnya, bahagia itu memang tidak ribet. Ia adalah pilihan untuk berhenti membuat drama, berhenti membandingkan, dan mulai mensyukuri. Mungkin, kita semua hanya perlu lebih sering mampir ke "warung kopi" dalam hidup kita masing-masing.
#Kebahagiaan #KesehatanMental #PengembanganDiri

