BANG ANCIS - Kita selalu membayangkan sebuah adegan rudapaksa (pemerkosaan) dengan skenario yang seragam: kekerasan, kebrutalan, lalu pelaku melarikan diri secepat kilat. Meninggalkan korban dalam keadaan hancur, fisik maupun mental. Pakaian robek. Barang berserakan.
Itu skenario umum. Sering kita lihat di film. Sering kita baca di berita kriminal halaman satu. Tapi, ada skenario lain. Skenario yang jauh lebih membingungkan. Skenario yang membuat polisi, jaksa, bahkan korban sendiri bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya terjadi?
Bayangkan ini: Setelah melakukan aksi bejatnya, pelaku tidak lari. Dia tidak memukul. Napasnya mulai teratur. Dia melihat korbannya menangis atau menggigil ketakutan. Lalu, pelaku itu bergerak pelan. Dia memungut pakaian korban yang tadi dia paksa lepas.

Dia memakaikannya kembali. Kancing demi kancing. Dia mungkin merapikan rambut korban. Mengambilkan tasnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, dia menawarkan diri untuk mengantar pulang. "Maafkan saya," katanya. Atau, "Apakah kamu baik-baik saja?"
Pertanyaannya: Mengapa ada pemerkosa yang melakukan itu? Apakah dia tiba-tiba menjadi orang baik?
Bukan Gentleman, Tapi Delusi
Dalam dunia psikologi kriminal, tipe ini punya nama: Power-Reassurance Rapist. Dulu, literatur lama menyebutnya dengan istilah yang salah kaprah: "The Gentleman Rapist".
Tentu saja tidak ada gentleman yang memperkosa. Istilah itu muncul karena perilakunya yang tidak se-sadis tipe lain. Tipe ini adalah yang paling umum ditemukan dalam kasus pemerkosaan.
Motivasinya bukan murni menyakiti fisik. Motivasinya adalah validasi. Dia ingin merasa jantan. Dia ingin merasa berkuasa secara seksual.
Yang mengerikan adalah isi kepalanya. Sebelum beraksi, dia punya fantasi gila. Dia berpikir korban mungkin akan "menikmati" perbuatannya. Atau korban akan jatuh cinta padanya setelah itu. Dia hidup dalam delusi bahwa perbuatannya adalah sebuah hubungan timbal balik, bukan kejahatan.
Mekanisme Undoing: Tombol CTRL+Z di Otak
Lalu, terjadilah aksi itu. Realitas menamparnya.
Saat korban menangis, berteriak, atau trauma, fantasinya runtuh. Dia sadar korban tidak menikmati. Dia sadar dia baru saja melakukan hal mengerikan. Rasa "jantan" yang dia cari tidak didapat, yang datang malah rasa malu dan kecemasan luar biasa.
Di sinilah muncul mekanisme psikologis yang disebut "Undoing" (penghapusan). Ini adalah mekanisme pertahanan diri. Mirip tombol undo atau CTRL+Z di komputer. Karena dia tidak bisa memutar waktu, dia melakukan tindakan simbolis untuk "membatalkan" kejahatan itu.
Memakaikan baju korban adalah simbol memulihkan martabat korban. Meminta maaf adalah simbol bahwa dia bukan orang jahat. Mengantar pulang adalah simbol bahwa dia pelindung, bukan perusak.
Apakah dia peduli pada korban? Sebenarnya tidak. Dia peduli pada perasaannya sendiri. Dia melakukan itu untuk mengurangi rasa bersalahnya sendiri. Dia sedang menipu dirinya sendiri agar bisa tidur nyenyak di malam hari. "Saya bukan monster, kok. Tadi saya pakaikan lagi bajunya," mungkin begitu batinnya.
Bahaya Bagi Korban
Bagi korban, perilaku ini justru menambah trauma. Korban menjadi bingung. Cognitive dissonance. "Orang ini baru saja menghancurkan saya, tapi kenapa sekarang dia bersikap lembut?"
Kebingungan ini sering dimanfaatkan pelaku agar korban tidak melapor. Pelaku berharap dengan bersikap "baik" di akhir, korban akan luluh. Atau setidaknya ragu untuk ke polisi.
Dalam banyak kasus, pelaku tipe ini sering beraksi berulang kali (serial). Mereka seperti pecandu. Mencari validasi, memperkosa, merasa bersalah, melakukan undoing, lalu siklusnya berulang lagi saat rasa tidak amannya muncul kembali.
Sisi Gelap Forensik
Namun, jangan tertipu. Tidak semua tindakan memakaikan baju didasari psikologi rumit di atas. Di era CSI dan detektif modern seperti sekarang, penjahat semakin pintar. Ada tipe pemerkosa yang memakaikan baju korban murni karena kalkulasi dingin.
Mereka merapikan korban untuk menghilangkan jejak. Mereka membersihkan tubuh korban untuk menghapus DNA. Mereka memakaikan baju agar jika korban ditemukan (dalam kondisi pingsan atau meninggal), TKP tidak terlihat seperti kasus kekerasan seksual. Ini upaya pengaburan fakta.
Kesimpulan
Kisah pemerkosa yang memakaikan kembali pakaian korbannya adalah kisah nyata. Itu bukan fiksi. Itu adalah bukti betapa rumitnya jiwa manusia, bahkan yang paling gelap sekalipun.
Namun, satu hal yang pasti: kebaikan sesaat setelah kejahatan tidak menghapus fakta hukum dan luka yang telah ditorehkan. Memakaikan baju tidak menutup luka. Itu hanyalah topeng rapuh dari seorang pengecut yang takut menghadapi monster di dalam dirinya sendiri.***

