Ketika Bekerja Pun Masih Dihina: Kisah Goblir yang Menampar Realitas Sosial Kita Hari Ini

BANG ANCIS - Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah kering, hiduplah seorang pemuda bernama Goblir. Musim kemarau panjang telah membuat desa itu terpuruk.

Goblir, yang kehilangan pekerjaannya sebagai buruh tani, kini tak punya apa-apa. Perutnya melilit menahan lapar, dan pakaiannya mulai lusuh.

Setiap sore, ia hanya bisa duduk di balai desa, memandangi orang-orang yang masih memiliki simpanan gabah. Para tetangga yang berkumpul di warung seberang sering memandangnya dengan cibiran.

"Lihat si Goblir," bisik Pak Sastro, juragan warung. "Masih muda, badan kuat, tapi kerjanya cuma melamun. Malas! Coba sana kerja apa saja, angkat batu di sungai atau bersihkan selokan, yang penting bisa beli beras. Ini malah minta dikasihani."

Ketika Bekerja Pun Masih Dihina

"Benar!" timpal yang lain. "Zaman susah begini kok milih-milih. Lapar itu obatnya kerja, bukan diam!"

Ejekan itu terdengar jelas dan menusuk telinga Goblir. Malu dan terhina, Goblir mengepalkan tangannya. Malam itu, ia bertekad, "Apapun akan kulakukan, asal perutku terisi."

Ketika Bekerja Pun Masih Dihina

Kerja Bau

Goblir mencari pekerjaan ke kota terdekat. Tak ada yang mau menerimanya karena ia tak punya keahlian. Satu-satunya pekerjaan yang tersedia adalah di rumah potong ayam. Tugasnya: membersihkan jeroan dan bulu-bulu sisa sembelihan.

Pekerjaan itu kotor, berlendir, dan baunya menusuk hidung. Tapi upahnya harian. Cukup untuk membeli nasi bungkus, sebungkus rokok kretek, dan sesekali sepotong ayam goreng.

Sebulan kemudian, Goblir pulang ke desa untuk menengok gubuk tuanya. Ia mampir ke warung Pak Sastro untuk membeli kopi. Ia mengenakan kemeja terbaiknya, meski samar-samar bau amis dari tempat kerjanya masih menempel.

Pak Sastro yang sedang melayani pelanggan, menutup hidungnya sedikit saat Goblir membayar.

"Wah, si Goblir," celetuk seorang pelanggan, yang kebetulan sama dengan yang mengejeknya dulu. "Sudah bisa makan enak sekarang, ya? Traktir kopi dong!"

Goblir hanya tersenyum tipis.

"Tapi..." Pak Sastro menimpali, suaranya pura-pura berbisik namun cukup keras untuk didengar seisi warung. "Kerja apa kamu di kota, Blir? Kok baunya... hiiiy... kayak bangkai tikus campur comberan."

Tawa pelan meledak di warung itu.

"Saya dengar dia jadi tukang bersih-bersih di rumah potong ayam," sahut yang lain.

"Pantas saja baunya begitu. Memalukan! Kerja kok di tempat kotor begitu. Tidak ada harga dirinya."

Goblir yang tadinya merasa sedikit bangga karena bisa makan enak, kini kembali tertunduk. Ia membayar kopinya dan pergi tanpa berkata-kata. Hatinya kembali perih.

Saat lapar, ia dihina karena malas. Saat ia bekerja keras, ia dihina karena pekerjaannya tidak terhormat.

Pilihan yang Salah Lagi

Hinaan itu terus terngiang di kepala Goblir. "Tidak ada harga dirinya." Kalimat itu menghantuinya setiap kali ia membersihkan darah dan bulu ayam.

Dua minggu setelah kunjungan itu, Goblir tak tahan lagi. Harga dirinya lebih penting daripada perutnya yang kenyang tapi bau amis. Ia mengambil upah terakhirnya dan berhenti dari rumah potong ayam.

Ia kembali ke desa. Ia berencana menggunakan sisa uangnya untuk modal kecil-kecilan, mungkin membeli alat pancing untuk mencari ikan di sungai.

Sore itu, ia kembali duduk di balai desa, tempat ia dulu melamun saat lapar. Ia sedang menghitung sisa uangnya, memikirkan langkah selanjutnya.

Pak Sastro dan rombongan warungnya melihatnya.

"Lho, lho, lho," kata Pak Sastro dengan nada mengejek yang kental. "Si 'Juragan Ayam' kok sudah kembali ke balai desa? Bukannya kerja di kota?"

"Kudengar dia berhenti," bisik yang lain.

"Apa?!" Pak Sastro tertawa keras. "Berhenti? Ngapain kamu berhenti kerja, Blir? Sombong sekali! Baru kerja begitu saja sudah berhenti."

"Memangnya ada pekerjaan lain yang lebih bagus yang mau terima kamu, hah? Orang sepertimu itu, tak punya keahlian, tak punya apa-apa, harusnya bersyukur dapat kerjaan!" Goblir diserang.

Pelanggan yang lain menimpali, "Paling-paling sebentar lagi lapar lagi dia. Nanti kalau sudah mengemis, baru tahu rasa!"

Goblir terdiam. Ia menatap uang receh di tangannya, lalu menatap wajah-wajah yang sedang menertawakannya.

Dulu ia lapar, mereka menyuruhnya kerja. Saat ia dapat kerja dan makan enak, mereka menghina pekerjaannya. Saat ia berhenti demi harga diri, mereka mengejeknya karena berhenti dan meramalkan ia akan lapar lagi.

Goblir akhirnya sadar.

Masalahnya bukan pada apakah ia lapar atau bekerja, bukan pada baunya atau keputusannya. Masalahnya adalah, bagi orang-orang seperti Pak Sastro, mulut mereka memang diciptakan hanya untuk mencela.

Goblir berdiri. Ia tidak marah. Ia hanya merasa lelah.

"Pak Sastro," katanya pelan, suaranya terdengar jelas di tengah tawa mereka. "Sepertinya, mau saya mati kelaparan atau mati kekenyangan, yang penting Bapak bisa berkomentar, ya?"

Ia memasukkan uangnya ke saku dan berjalan pergi meninggalkan balai desa, tidak lagi peduli pada tawa yang perlahan mati di belakangnya. Ia mungkin belum tahu akan makan apa besok, tapi satu hal yang pasti: ia tidak akan pernah lagi makan dari piring berisi hinaan mereka.***

Belanja Celana Boxer Cowok dan Cewek
LihatTutupKomentar
Cancel