Bang Ancis - Untuk menjawab pertanyaan di atas, kali ini saya mencoba menghadirkan sebuah kisah yang entah sedih, gembira atau lucu yang dialami seorang teman berikut ini.
Alkisah, ada seorang lelaki, sebut saja Thomas Arakian, tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan, baik fisik maupun emosional.
Masa kecilnya diliputi oleh trauma, di mana ia sering menjadi korban kekerasan orang tua. Tidak hanya itu, ia juga menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga antara kedua orang tuanya.
Setiap hari, ia melihat konflik tanpa henti yang memupuk ketakutan dan kebencian terhadap institusi pernikahan.
Seiring bertambahnya usia, lelaki ini mengembangkan prinsip kuat untuk tidak menikah. Baginya, pernikahan adalah sumber penderitaan, konflik, dan rasa sakit yang tak ingin ia ulangi.
Namun, ketika memasuki usia dewasa, tekanan dari keluarga mulai muncul. Sanak keluarga menganggap keputusannya untuk tidak menikah sebagai sesuatu yang aneh dan tidak lazim.
Mereka mulai memaksanya untuk menikah, mengabaikan alasan yang mendasari keputusan tersebut. Bahkan, dia kerap dianggap memiliki “kelainan” karena prinsipnya yang kokoh.
Pada suatu titik dalam hidupnya, lelaki ini bertemu dengan seorang wanita yang statusnya single parent. Keduanya saling memahami dan membentuk hubungan yang mendalam. Namun, harapan akan kebahagiaan itu tidak berjalan mulus.
Keluarga lelaki tersebut justru dengan keras menolak hubungan mereka. Mereka menggunakan berbagai cara, termasuk menghasut teman-teman kerjanya untuk membuatnya tidak nyaman di tempat kerja.
Harapan mereka adalah agar lelaki ini menjauh dari wanita tersebut, hanya karena statusnya yang tidak diterima oleh keluarga.
Tanggapan Rangorang
Kisah ini mencerminkan kompleksitas trauma masa kecil dan dampaknya terhadap pilihan hidup di masa dewasa.
Keputusan seorang lelaki untuk tidak menikah sebagai bentuk perlindungan diri dari pengulangan kekerasan yang pernah dialami sangat bisa dipahami.
Lingkungan keluarga yang memaksakan pandangan tradisional tanpa memahami trauma yang dialaminya memperburuk situasi.
Penolakan terhadap pilihannya untuk bersama seorang wanita pilihanya menambah beban emosional yang sejatinya sudah begitu berat.
Tindakan keluarga yang bahkan sampai melibatkan rekan kerja untuk menekan lelaki ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh norma sosial dalam masyarakat.
Status pernikahan dan pandangan hidup seringkali dipaksakan tanpa mempertimbangkan kebahagiaan dan kesejahteraan individu.
Ini juga mengangkat isu tentang stigmatisasi terhadap wanita single parent dan mereka yang memilih jalur hidup yang berbeda dari kebiasaan.
Pada akhirnya, kisah ini menekankan pentingnya pemahaman, empati, dan dukungan bagi mereka yang mengalami trauma masa lalu, bukan paksaan atau tekanan.
Setiap individu berhak menentukan pilihannya, terutama dalam hal pernikahan, tanpa harus tunduk pada tekanan sosial yang merusak.
Dampak Trauma Kekerasan Masa Kecil
Pengaruh kekerasan dalam lingkungan keluarga di masa kecil terhadap seseorang hingga dewasa bisa sangat signifikan. Beberapa dampak utama yang biasanya terjadi meliputi:
Dampak Psikologis dan Emosional
Trauma dan PTSD: Kekerasan fisik, emosional, atau verbal dalam keluarga bisa menyebabkan trauma jangka panjang dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan sering kali merasa cemas, takut, dan tidak aman.
Perasaan tidak berharga: Sering kali, kekerasan membuat anak merasa tidak dihargai dan tidak layak dicintai, yang bisa merusak harga diri mereka hingga dewasa.
Gangguan Emosional: Mereka cenderung mengalami depresi, kecemasan, serta kesulitan mengelola emosi dan stres. Banyak yang merasa sulit untuk mempercayai orang lain atau membangun hubungan yang sehat.
Dampak Terhadap Relasi dan Kehidupan Sosial
Kesulitan dalam Hubungan: Mereka yang mengalami kekerasan sering kali kesulitan membangun hubungan yang sehat dan stabil karena ketakutan akan pengulangan kekerasan atau pola hubungan yang disfungsional.
Takut Komitmen: Banyak orang yang mengalami kekerasan rumah tangga merasa enggan untuk menikah atau membangun keluarga, karena trauma yang mereka alami. Mereka cenderung melihat pernikahan sebagai sesuatu yang berisiko dan penuh konflik.
Terlalu protektif atau sulit percaya: Ada kecenderungan untuk menjadi sangat protektif terhadap diri sendiri atau bahkan anak-anak di masa depan, takut akan mengulangi pola kekerasan yang pernah mereka alami.
Dampak Terhadap Kesehatan Fisik
Masalah Kesehatan Jangka Panjang: Studi menunjukkan bahwa kekerasan masa kecil bisa meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti penyakit jantung, hipertensi, dan gangguan tidur, akibat stres kronis.
Penyalahgunaan Substansi: Banyak korban kekerasan masa kecil mengembangkan pola coping yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan alkohol atau narkoba, sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit emosional mereka.
Dampak Terhadap Karir dan Prestasi
Kesulitan dalam Karir: Trauma masa kecil dapat mengganggu kemampuan untuk fokus dan bekerja secara efektif, sehingga berdampak pada prestasi akademik atau profesional.
Rasa Tidak Percaya Diri: Kecenderungan merasa tidak mampu atau tidak layak bisa menghalangi mereka dari pengembangan karier dan pencapaian tujuan hidup.
Secara keseluruhan, kekerasan masa kecil memiliki dampak mendalam yang dapat memengaruhi hampir semua aspek kehidupan seseorang.
Pemulihan dari trauma ini biasanya memerlukan dukungan psikologis dan emosional yang kuat, seperti terapi atau konseling, agar individu dapat membangun kembali rasa aman dan memperbaiki relasi sosial, dan bukan dengan tekanan dan paksaan.***