Bang Ancis - Sebelum ada kitab suci yang dicetak massal. Sebelum ada agama modern. Dunia saat itu ramai oleh dewa-dewa. Dewa petir, dewa hujan, dewa panen, dewa dapur pun ada. Lalu tiba-tiba—bum!—datang seorang 'gila' dari Persia. Namanya: Zarathustra.
Lelaki ini hidup di sekitar abad ke-10 sampai 6 SM, tergantung siapa yang menghitung. Yang pasti: ia muncul dengan gagasan paling revolusioner untuk zamannya. Ia bilang, “Tidak! Tuhan itu cuma satu. Namanya Ahura Mazda!” Dunia yang terbiasa menyembah seribu dewa, mendadak pusing kepala.

Bayangkan, Seorang Gembala Bicara tentang Tuhan Tunggal
Zarathustra bukan bangsawan. Bukan raja. Hanya orang biasa. Gembala, mungkin filsuf, mungkin nabi—tergantung Anda tanya ke siapa. Tapi pemikirannya menggelegar. Ia memperkenalkan konsep surga dan neraka, hari penghakiman, dan pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan.
Lebih gilanya lagi, ajarannya ini tidak sekadar tulisan di batu. Ia jadi fondasi kerajaan Persia! Kaisar-kaisar seperti Darius Agung menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama resmi.
Dari Persia ke Dunia: Pengaruhnya Sampai ke Barat
Zarathustra berbicara tentang moral. Tentang kebaikan pikiran, perkataan, dan perbuatan. “Good thoughts, good words, good deeds”. Klise? Ya. Tapi di zamannya, itu seperti bicara sains kuantum ke anak TK.
Dan ajarannya tidak menguap begitu saja. Para sejarawan percaya, agama Yahudi, Kristen, bahkan Islam, mengadopsi atau setidaknya terinspirasi dari struktur moral dan metafisika Zoroaster: ada satu Tuhan, ada akhirat, ada balasan.
Aneh, Tapi Masuk Akal
Lucunya, ajaran Zoroastrianisme tidak meledak di seluruh dunia. Bahkan di Iran modern, pengikutnya kini tinggal puluhan ribu saja. Tapi jejaknya abadi. Seperti fondasi rumah yang tak kelihatan, tapi menyangga seluruh bangunan agama samawi.
Di India, keturunannya dikenal sebagai kaum Parsi. Mereka yang melarikan diri dari Islamisasi Persia dan kini masih memelihara api suci—bukan untuk disembah, tapi sebagai simbol cahaya dan kebenaran.
Yang Terlupakan, Tapi Mendahului
Kadang sejarah memang tidak adil. Zarathustra tidak dipuja miliaran orang seperti Nabi Ibrahim, Yesus, atau Nabi Muhammad. Tapi dia—ribuan tahun lalu—sudah memulai apa yang kita kenal hari ini sebagai kepercayaan bahwa Tuhan itu Maha Esa.
Dia memang dianggap gila di awal. Tapi bukankah hampir semua pembaharu dianggap begitu?
Oh ya, sebelum masa pembuangan ke Babilonia (sekitar abad ke-6 SM), bangsa Israel belum sepenuhnya monoteistik murni. Mereka menyembah Yahweh, iya, tapi di beberapa teks awal, masih ada pengakuan terhadap dewa-dewa lain. Itu disebut henoteisme—percaya pada satu Tuhan utama, tapi mengakui dewa lain juga eksis.
Misalnya di Mazmur 86:8-10, Ulangan Ulangan 5:7, kadang-kadang muncul frasa seperti: "Tidak ada allah lain di hadapan-Ku," (Keluaran 20:3) yang justru menunjukkan adanya pengakuan bahwa "allah lain" itu ada—tapi bukan untuk disembah.
Lalu, sekitar tahun 538 SM, Koresh Agung dari Persia menaklukkan Babilonia dan membebaskan orang-orang Yahudi dari pembuangan. Nah, di sinilah pertemuan besar terjadi. Bangsa Ibrani saat itu tinggal di wilayah kekuasaan Persia. Dan agama resmi Persia adalah… Zoroastrianisme.
Selama ratusan tahun hidup berdampingan, terjadi semacam pertukaran gagasan. Bukan berarti orang Yahudi pindah agama, tapi mereka mulai menyerap beberapa ide besar Zoroaster yang sebelumnya belum terlalu eksplisit dalam teologi Yahudi.

Apa yang Diserap?
- Konsep Iblis sebagai entitas jahat yang aktif menentang Tuhan.
Dalam Zoroastrianisme ada Angra Mainyu (Ahriman), roh jahat yang melawan Ahura Mazda. Dalam Yahudi pasca-pembuangan, muncul peran Setan bukan hanya sebagai penguji, tapi benar-benar musuh Tuhan.
- Hari Kiamat dan Kebangkitan Orang Mati.
Sebelum masa Persia, ajaran tentang akhir zaman dan kebangkitan belum muncul jelas dalam kitab Yahudi. Tapi setelahnya, muncul teks seperti dalam Daniel yang menyebut kebangkitan, penghakiman akhir, surga dan neraka.
- Pertarungan kosmik antara terang dan gelap, kebaikan dan kejahatan.
Ini sangat khas Zoroastrianisme, lalu masuk ke dalam kerangka berpikir apokaliptik Yahudi (Kiamat, Penghakiman, dll).
Efek Domino ke Kristen
Karena agama Kristen lahir dari akar Yahudi, pengaruh Zoroastrianisme ikut mengalir turun: konsep iblis, kiamat, neraka, surga, hari penghakiman, bahkan malaikat seperti Jibril dan Mikail jadi makin konkret.
Dalam Zoroastrianisme juga ada "malaikat" atau makhluk cahaya bernama Amesha Spenta—mirip peran para malaikat dalam agama Abrahamik.
Jadi, Apakah Yahudi Mencontek?
Bukan. Ini bukan soal “meniru” tapi soal evolusi teologis akibat pertemuan budaya. Sama seperti ilmu pengetahuan berkembang karena bertukar ide, agama pun tidak lahir di ruang hampa. Pertemuan dengan Persia justru jadi pemicu pendewasaan spiritual Yahudi.
Aaaa Jadi? Zarathustra tidak sekadar gila. Ia merintis jalan bagi konsep-konsep besar tentang Tuhan, kebaikan, keadilan, dan akhir zaman—yang kemudian bergema jauh hingga ke Alkitab.
Agama itu seperti sungai. Yahudi, Kristen, dan lainnya mungkin hilirnya. Tapi salah satu hulu besarnya bernama: Zoroaster (Zarathustra). Pertanyaannya, Zarathustra ini dapat ide dari mana? Ngarang bebas atau ada semacam ilham?***