Bang Ancis - Tahun Orientasi Pastoral (TOP) itu seperti jurang antara idealisme dan kenyataan. Banyak frater melompat masuk dengan semangat membara, tapi keluar dengan hati remuk. Ini bukan soal mereka lemah, tapi soal mereka akhirnya sadar.
Kenapa banyak frater gagal menjadi imam setelah menjalani Tahun Orientasi Pastoral? ada banyak alasan. Tapi satu yang pasti, TOP bukan hanya ajang latihan, tapi medan perang psikologis, spiritual, bahkan eksistensial. Dan tak semua frater siap berdarah di sana.
Saya sudah lihat dengan mata kepala sendiri. Semua frater itu pintar, rajin, dan saleh. Tapi begitu hidup berhadapan langsung dengan umat, dunia jadi jungkir balik. Apa yang dipelajari di ruang kelas seolah tak cukup.

Alasan Banyak Frater Gagal Jadi Imam Setelah TOP
A. Dari Biara ke Dunia Nyata
Tahun Orientasi Pastoral bukan tempat nyaman. Frater yang terbiasa hidup teratur tiba-tiba harus berhadapan dengan umat yang seenaknya. Jadwal berubah, kebutuhan mendesak, dan kadang kelakuan pendamping pun tak bisa jadi panutan.
Inilah momen paling jujur dalam hidup mereka. Ketika mereka sadar bahwa memimpin umat bukan hanya soal misa dan doa, tapi mendengarkan orang mabuk, menghadapi konflik keluarga, dan menjawab pertanyaan aneh anak muda.
B. Krisis Panggilan Dimulai di Sini
Banyak frater mengira panggilan itu urusan rasa. Padahal panggilan diuji saat kamu lelah, kesepian, dan tak dipahami. Tahun Orientasi Pastoral memperlihatkan siapa yang sungguh terpanggil, dan siapa yang hanya terlanjur masuk seminari.
Ada frater yang menangis diam-diam. Ada yang mulai ragu. "Saya benar mau hidup seperti ini?" Lalu, setelah TOP, mereka pamit. Dengan jujur. Dan itu lebih baik daripada bertahan dalam kebohongan.
C. Benturan Karakter dan Realitas Komunitas
Tak sedikit frater yang idealis, lalu bentrok dengan imam yang terlalu administratif. Atau dengan umat yang terlalu “cuek”. Di sinilah frater merasa seperti sendirian, padahal sedang hidup dalam komunitas.
Ada juga yang merasa kehilangan arah karena komunitas pastoral tidak mendukung pertumbuhan rohaninya. Atau sebaliknya, terlalu menekan hingga ia tak punya ruang untuk berkembang secara manusiawi.
D. Bukan Gagal, Tapi Sukses Menemukan Diri
Frater yang keluar setelah TOP bukan berarti gagal. Justru banyak dari mereka akhirnya menemukan panggilan sejati. Menjadi guru, aktivis, bahkan suami dan ayah yang luar biasa.
Tahun Orientasi Pastoral itu penting. Bukan hanya untuk melahirkan imam hebat, tapi juga manusia yang utuh. Yang tahu dirinya. Yang sadar bahwa panggilan bukan soal kesucian, tapi ketulusan.
TOP bukan akhir dari formasi, tapi awal dari realitas hidup sebagai gembala. Di sanalah panggilan diuji, dimurnikan, bahkan dihancurkan untuk dibangun ulang. Bukan karena Tuhan kejam, tapi karena panggilan imam itu terlalu mulia untuk dibuat main-main.***