BANG ANCIS - Pulang kampung selalu terdengar indah. Apalagi setelah PHK 😁. Banyak yang membayangkan hidup di desa dengan tenang, adem, ayem, tentrem. Namun, kenyataannya tidak semanis itu.
Begitu sampai desa, mungkin hanya butuh sebulan sebelum rasa gatal muncul untuk kembali ke kota. Ingin segera cari tiket paling pagi, balik ke habitat bising yang dulu dicaci. Masalahnya bukan pada desa. Desanya tetap sejuk dan indah. Masalahnya ada pada kita sendiri, manusia kota yang mencoba kembali ke kandang.
Puluhan tahun hidup di kota ternyata membentuk "software" di kepala. Namanya efisiensi. Semua harus cepat, tepat, sat-set. Pesan ojek online, tiga menit datang. Pesan makanan, setengah jam sampai. Ritme ini sudah jadi napas hidup.
Di desa, perangkatnya lain. Namanya kebersamaan. Ritmenya bukan menit, tapi pagi, siang, malam. Waktu lebih cair, lebih elastis. Katanya lebih manusiawi. Tapi bagi otak yang sudah terinstal program kota, bisa bikin kepala berasap.

Gegar Budaya di Desa
Ritual Beli di Warung
Coba belanja di warung dengan gaya kota. Langsung to the point. Bisa-bisa dicap sombong. Di desa ada ritualnya. Tanya kabar dulu, ngobrol soal ternak, harga pupuk, bahkan cuaca. Urusan belanja justru nomor sekian.
Gotong Royong vs Individualis
Di desa, semangat kebersamaan luar biasa. Gotong royong jadi budaya. Tapi bagi mesin individualis hasil tempaan kota, itu bisa jadi penjara sosial. Setiap gerak-gerik terasa diawasi dan harus sesuai aturan komunal.
Jadi Tontonan
Orang kota yang pulang dianggap "spesies lain". Cara bicara, cara berpakaian, bahkan cara diam pun diperhatikan. Kalau sehari saja tidak keluar rumah, tetangga sudah bertanya-tanya. Beda dengan kota, bertahun-tahun pun tidak kenal tetangga masih wajar.
Gegar Fasilitas
Layanan Kesehatan
Anak demam tengah malam di kota? Tinggal lari ke UGD atau apotek 24 jam. Di desa? Paling hanya kompres air hangat sambil banyak doa. Fasilitas kesehatan tak semudah kota.
Internet yang Tersendat
Di kota orang sudah bicara 6G. Di desa, sinyal stabil untuk WhatsApp saja sudah membuat sujud syukur. Streaming film? Bisa jadi filmnya tamat lebih dulu sebelum buffering selesai.
Dompet yang Kaget
UMR kota terasa seperti penghasilan sultan bila dibawa ke desa. Masalahnya, kantor pusat tidak ikut pindah ke tengah sawah. Peluang ekonomi berbeda. Mau buka kafe aesthetic? Pasarnya siapa? Anak muda desa lebih betah nongkrong di warung kopi sederhana dengan gorengan hangat.
Pulang Kampung Itu Transplantasi
Pulang kampung bukan sekadar pindah alamat. Itu transplantasi jiwa dan raga. Dari ekosistem beton ke ekosistem tanah. Dari ritme sat-set ke ritme santai. Apalagi pulkamnya diwarnai drama, bisa tamat riwayatmu. Hahaha...
Karena itu, jika tidak siap mental dan menolak beradaptasi, kita bisa layu sebelum berkembang. Pulang kampung yang awalnya terasa romantis bisa jadi jebakan. Sebuah tantangan besar yang tidak semua orang sanggup hadapi.***


Tidak perlu mikirin yang aneh-aneh termasuk soal sinyal