BANGANCIS - Rina menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. Deretan foto OOTD teman-temannya memenuhi linimasa, semua tampak mahal dan trendi. Ia, seorang mahasiswi tingkat akhir dengan uang saku pas-pasan, hanya bisa menghela napas.
Keinginan untuk tampil menarik adalah fitrah. Apalagi di era media sosial, di mana penampilan seolah menjadi kartu nama pertama. Namun, dompet sering kali tidak sejalan dengan keinginan. Label harga di mal terasa seperti tembok tinggi yang mustahil dipanjat.
| Gambar dari >Pixabay |
Rina hampir menyerah pada celana jins dan kaus oblong andalannya. Sampai suatu sore, seorang teman datang ke kampus dengan blazer yang terlihat sangat berkelas. "Beli di mana? Keren banget!" tanya Rina, sudah membayangkan harga jutaan. Temannya tertawa. "Cuma tiga puluh lima ribu, di Pasar Senen."
Mata Rina terbelalak. Tiga puluh lima ribu rupiah? Harga yang lebih murah dari secangkir kopi di kafe kekinian. Dari sanalah petualangan Rina di dunia thrifting, atau berburu barang bekas, dimulai. Sebuah dunia yang mengubah cara pandangnya tentang fesyen selamanya.
Dari Pasar Becek ke Linimasa Instagram
Perjalanan pertama Rina ke surga baju bekas terasa seperti masuk ke dimensi lain. Pasar yang ramai, sedikit pengap, dengan gunungan pakaian yang menjulang tinggi di setiap lapak. Ini bukan butik wangi dengan pendingin udara. Ini adalah medan pertempuran bagi para pemburu gaya.
Awalnya ia ragu. Bagaimana mungkin ada barang bagus di antara tumpukan kusut ini? Tapi ia melihat para pembeli lain dengan mata elang, tangan-tangan lincah mereka memilah dan memilih. Ini bukan sekadar belanja, ini adalah seni berburu.
Perburuan Harta Karun di Tumpukan Baju
Dengan tekad baja, Rina mulai menyelami lautan pakaian itu. Ia mengikuti tips dari temannya: datang lebih pagi, sabar, dan periksa setiap jengkal kain. Jangan silau dengan merek, tapi perhatikan kualitas bahan dan jahitan.
Setengah jam pertama terasa sia-sia. Tapi kemudian, tangannya menyentuh sebuah bahan yang terasa berbeda. Lembut dan tebal. Ia menariknya keluar dari tumpukan. Sebuah kemeja flanel merek terkenal dari Jepang, dalam kondisi nyaris sempurna. Harganya? Dua puluh ribu rupiah saja.
Penemuan itu memompa semangatnya. Ia melanjutkan perburuan dengan lebih antusias. Tak lama, ia menemukan rok plisket, kardigan rajut, hingga celana kulot yang masih sangat layak pakai. Total belanjaannya hari itu tidak sampai seratus ribu rupiah, namun ia pulang membawa setumpuk "harta karun".
Aroma Kapur Barus yang Khas
Tantangan dunia thrifting tidak berhenti setelah pembayaran. Pakaian bekas datang dengan "parfum" khasnya: aroma kapur barus dan gudang yang menyengat. Ini adalah bagian dari ritual yang harus dijalani.
Rina sudah menyiapkan resepnya. Ia merendam semua pakaiannya dalam air panas yang dicampur cuka dan soda kue. Setelah itu, barulah ia mencucinya dengan detergen dan pewangi. Proses ini tidak hanya menghilangkan bau, tapi juga membunuh kuman dan bakteri.
Hasilnya luar biasa. Pakaian-pakaian itu kini terlihat segar dan wangi, siap untuk dipadu-padankan. Tidak ada yang akan menyangka bahwa OOTD kerennya berasal dari tumpukan baju bekas di pasar. Blazer seharga tiga puluh lima ribu itu kini menjadi bintang di linimasa Instagram-nya.
Bukan Sekadar Gaya, Tapi Pilihan Cerdas
Fenomena thrifting yang digandrungi anak muda seperti Rina bukanlah sekadar tren sesaat. Di baliknya, ada sebuah kesadaran dan kecerdasan dalam memilih. Ini adalah perlawanan terhadap budaya konsumerisme dan industri fesyen cepat (fast fashion) yang destruktif.
Setiap helai pakaian bekas yang kembali digunakan berarti mengurangi limbah tekstil yang menggunung. Ini adalah langkah kecil yang berdampak besar bagi lingkungan. Sebuah pilihan yang membuat penampilan keren terasa lebih bermakna.
Mantra 'Reduce, Reuse, Recycle'
Industri fast fashion adalah salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Mereka memproduksi pakaian dalam jumlah masif dengan kualitas rendah, mendorong orang untuk terus membeli dan membuang. Thrifting memutus siklus setan ini.
Dengan membeli barang bekas, kita menerapkan prinsip reuse (menggunakan kembali) secara harfiah. Kita memperpanjang umur sebuah pakaian, mencegahnya berakhir di tempat sampah. Ini adalah aksi nyata peduli bumi yang bisa dilakukan sambil tetap bergaya.
Anak-anak muda kini semakin sadar akan isu ini. Bagi mereka, thrifting bukan lagi soal tidak mampu membeli barang baru. Ini adalah sebuah pernyataan sikap, sebuah pilihan gaya hidup yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Membangun Identitas Tanpa Menguras Kantong
Keunggulan lain dari thrifting adalah keunikan. Saat berburu di pasar barang bekas, Anda tidak akan menemukan sepuluh baju yang sama seperti di gerai ritel. Setiap barang adalah satu-satunya, memiliki cerita dan karakternya sendiri.
Ini memberi ruang bagi setiap individu untuk bereksperimen dan menemukan gaya personal mereka. Mencampur jaket denim lawas dengan kemeja sutra vintage, misalnya. Hasilnya adalah penampilan otentik yang tidak bisa ditiru, sebuah identitas fesyen yang dibangun dari kreativitas, bukan dari tebalnya dompet.
Rina kini tidak lagi minder melihat linimasa Instagram-nya. Ia justru bangga. Setiap OOTD yang ia unggah bukan hanya soal pakaian, tapi juga soal cerita perburuan, kecerdasan finansial, dan kepedulian pada lingkungan. Sebuah gaya yang murah meriah, namun kaya akan makna.
#Thrifting #FashionMurah #GayaHidup


Tapi sekarang harganya mahal, 50 ribu juga ngga bagus seperti dulu, karena pemerintah memperketat pakaian thrifting karena menyebabkan bisnis industri pakaian lokal lesu