BANGANCIS - Budi terbangun. Tangannya secara refleks meraba sisi kanan bantal, mencari benda pipih dingin yang biasa menyambut paginya. Kosong.
Ia baru ingat. Hari ini adalah hari eksekusi. Hari dimana ia berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan 'puasa' total dari ponsel pintarnya selama 24 jam penuh. Rasanya aneh, seperti ada bagian tubuh yang hilang.
| Gambar dari >Pixabay |
Getar pertama datang bukan dari ponsel, tapi dari dalam dirinya sendiri. Sebuah kecemasan ringan. Bagaimana jika ada email penting dari bos? Bagaimana jika ada kabar darurat dari keluarga? Pikiran-pikiran itu menari liar di kepalanya.
Kecanduan yang Tak Disadari
Pagi itu terasa sangat panjang. Tanpa scroll linimasa media sosial sambil menyeruput kopi, Budi merasa kikuk. Ia hanya duduk menatap cangkirnya, benar-benar merasakan panas dan pahitnya kopi.
Ini adalah gejala pertama. Ketergantungan yang sudah mendarah daging. Ponsel bukan lagi alat, tapi sudah menjadi perpanjangan tangan dan pikiran.
Getar Fantom dan Jari Gelisah
Berkali-kali Budi merasakan sensasi getaran di saku celananya. Ia refleks merogohnya, lalu tersadar sakunya kosong. Fenomena ini disebut phantom vibration syndrome.
Jari-jemarinya pun terasa gatal. Ibu jarinya seolah punya pikiran sendiri, ingin melakukan gerakan mengusap layar dari atas ke bawah. Sebuah kebiasaan yang dilakukan ribuan kali setiap hari tanpa pernah ia sadari sebelumnya.
Otak kita sudah terprogram untuk mencari gratifikasi instan. Sebuah notifikasi adalah hadiah kecil. Tanpa hadiah itu, otak terasa gelisah dan mencari-cari stimulus yang hilang.
Dunia yang Tiba-Tiba Sunyi
Tanpa rentetan notifikasi grup WhatsApp, tanpa dering pengingat, dunia Budi tiba-tiba menjadi sunyi. Awalnya, kesunyian itu menakutkan. Terasa hampa.
Ia merasa ketinggalan. Teman-temannya pasti sedang membahas sesuatu yang seru. Pasti ada berita viral yang sedang heboh. Perasaan FOMO (Fear of Missing Out) menyerangnya dengan brutal di jam-jam pertama.
Kesunyian ini memaksanya untuk berhadapan dengan satu hal yang sering ia hindari: pikirannya sendiri. Tidak ada lagi distraksi untuk lari dari kebosanan atau kegelisahan.
Menemukan Kembali yang Hilang
Siang berganti sore. Kegelisahan Budi mulai mereda, berganti dengan sebuah kesadaran baru. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya.
Eksperimen ini ternyata bukan tentang kehilangan, melainkan tentang menemukan kembali. Menemukan apa yang selama ini terlewatkan karena mata terlalu fokus pada layar 6 inci.
Obrolan Tatap Muka yang Lebih Dalam
Saat makan siang bersama istrinya, tidak ada ponsel di atas meja. Budi benar-benar menatap mata istrinya saat berbicara. Ia mendengar ceritanya tanpa terinterupsi keinginan untuk mengecek email.
Percakapan mereka terasa lebih hidup dan bermakna. Tidak ada jeda canggung karena salah satu dari mereka sibuk membalas pesan. Koneksi yang terjalin terasa lebih nyata dan hangat.
Baru saat itu ia sadar. Selama ini ia mungkin hadir secara fisik, tapi pikirannya sering kali berkelana di dunia digital. Kehadiran penuh adalah kemewahan yang langka.
Langit Biru dan Aroma Kopi
Sore harinya, Budi duduk di teras. Ia melihat gradasi warna oranye di langit senja, sesuatu yang sudah lama tak ia perhatikan detailnya. Ia bisa mencium aroma tanah basah setelah disiram.
Ia membaca buku yang sudah setahun tergeletak di rak, merasakan tekstur kertasnya. Ia menyelesaikan tiga bab tanpa henti. Sesuatu yang mustahil dilakukan jika ponsel berada dalam jangkauannya.
Ternyata, hidup tanpa ponsel sehari tidak hanya mungkin. Tapi juga membuka pintu ke pengalaman sensorik yang lebih kaya. Dunia nyata punya resolusi yang jauh lebih tinggi dari layar manapun.
Malam tiba. Budi merasa lebih tenang dan tidurnya pun lebih lelap. Eksperimen sehari ini terasa seperti liburan singkat bagi otaknya.
Jadi, bisa nggak sih hidup tanpa HP sehari? Jawabannya, sangat bisa. Bahkan mungkin, kita semua membutuhkannya sesekali.
#DigitalDetox #KesehatanMental #GayaHidup

