Bang Ancis - Selamat datang buat pembaca yang barankali sedari tadi menunggu terbitnya artikel ini. Maaf agak delay tayangnya. Dunia ini memang panggung sandiwara yang kadang membingungkan akal sehat. Ada satu lakon yang paling memuakkan: sebuah manipulasi berkedok kebaikan yang justru menghancurkan mental seseorang.
Kita sering melihat kasus di mana seseorang mengaku "menolong", padahal tangannya berlumuran dosa sosial. Korbannya—mari kita sebut saja Sang Korban—dibuat bingung setengah mati.
Bagaimana mungkin sebuah niat baik dieksekusi dengan cara-cara premanisme moral seperti mengadu domba dan menghasut kawan dekat? Logika Sang Korban macet, batinnya tertekan hebat karena dipaksa menelan racun yang diberi label "obat".
![]() |
| Foto GeminiAI |
Manipulasi Berkedok Kebaikan
Ini sungguh edan. Pelaku dengan entengnya bilang semua itu demi masa depan Sang Korban, sementara ia sendiri sedang meruntuhkan masa depan itu. Tidak ada kamus di dunia ini, dari timur sampai barat, yang membenarkan perusakan mental sebagai bentuk kasih sayang.
Jebakan Isolasi Sosial
Taktik pertama yang paling jahat adalah isolasi. Pelaku "kebaikan" ini bergerilya mendatangi teman-teman Sang Korban satu per satu. Tujuannya jelas: menghasut agar lingkungan menjauh dan Sang Korban sendirian.
Mereka menanam benih kebencian dengan cerita yang dipelintir. Ketika Sang Korban sudah sendirian dan kesepian, di situlah mentalnya mulai rapuh. Ini bukan menyelamatkan, ini mematikan langkah.
Menelanjangi Aib di Ruang Publik
Lebih gila lagi adalah kegemaran mengumbar aib. Privasi yang seharusnya dijaga rapat, justru disebar seperti brosur diskon di pinggir jalan. Mereka berdalih agar Sang Korban "sadar diri" atau "kapok", padahal itu murni pembunuhan karakter.
Kehormatan seseorang dilucuti di depan umum tanpa ampun. Orang yang benar-benar peduli akan menutup aib saudaranya, bukan menjadikannya bahan gunjingan di warung kopi atau media sosial. Tindakan ini bukan mendidik, melainkan mempermalukan untuk memuaskan ego si pelaku.
Kekerasan Fisik Bukan Solusi
Lalu kita bicara soal fisik. Ketika tangan sudah main pukul atau fisik sudah diserang, debat soal "niat baik" harusnya otomatis batal. Tidak ada cinta dalam pukulan, dan tidak ada kepedulian dalam serangan fisik.
Itu kriminal. Titik. Membungkus kekerasan fisik dengan alasan "supaya dia jadi orang benar" adalah logika sesat yang harus dilawan. Tubuh manusia bukan samsak untuk melampiaskan emosi atas nama perbaikan akhlak.
Topeng Penyelamat Kesuburan Ego
Sebenarnya, siapa yang sedang diselamatkan di sini? Bukan Sang Korban, melainkan ego si pelaku itu sendiri. Mereka merasa menjadi pahlawan atau "Sang Penyelamat" dengan cara menginjak orang lain.
Mereka butuh merasa suci dengan menunjuk kotoran di wajah orang lain. Ini adalah narsisme yang menyamar menjadi malaikat penolong. Sangat berbahaya karena mereka tidak pernah merasa bersalah sedikitpun.
Kebaikan Sejati Itu Adem
Kita harus kembali ke definisi dasar. Kebaikan itu rasanya sejuk, damai, dan ngemong. Ia merangkul, bukan memukul; ia mendekatkan, bukan memisahkan.
Jika "kebaikan" itu membuat Anda depresi, ketakutan, dan kehilangan teman, buang jauh-jauh. Itu bukan emas, itu cuma besi berkarat yang disepuh emas palsu. Jangan mau "dibantu" tapi ujung-ujungnya dibunuh pelan-pelan.
Maka, bagi siapa saja yang sedang dijebak dalam permainan ini, sadarlah segera. Anda tidak berhutang budi pada orang yang menghancurkan hidup teman Anda (kecuali dibayar), meski mereka berteriak itu demi kebaikan. Itu juga kalau Anda waras!
Maka, jangan biarkan otak Anda dicuci oleh narasi sesat mereka meski ada kebenaran di dalamnya. Jangan pernah merasa bersalah karena melawan serangan brutal semacam ini. Kebaikan sejati tidak pernah meminta tumbal harga diri.
Satu hal lagi yang sering tak disadari: si pelaku utama seringkali punya agenda tersembunyi yang jauh lebih besar. Bukan sekadar demi kebaikan. Bisa jadi mereka mengincar posisi, ingin menutupi skandal, atau mungkin saja mereka adalah pion dari permainan kekuasaan yang lebih luas.
Kaki tangan si pelaku, yang ikut-ikutan, seringkali hanyalah "korban tak langsung" yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan gelap yang sama sekali tak berhubungan dengan "kebaikan" Sang Korban. Sebuah kejahatan yang sempurna, bukan?***


