Ketika Cinta Nggak Seimbang, Yang Capek Selalu Satu Sisi

BANGANCIS - Rina meletakkan ponselnya di meja, pelan. Ada helaan napas panjang yang keluar dari dadanya, terasa berat dan sesak. Bukan karena marah, tapi lelah.

Baru saja ia selesai mengatur rencana kencan akhir pekan dengan Budi, kekasihnya. Dari mencari tempat, memesan meja, sampai memikirkan rute terbaik agar tidak macet. Budi hanya menjawab "Oke," "Siap," atau "Terserah kamu saja."

Gambar Ilustrasi Artikel
Gambar dari >Pixabay

Ini bukan yang pertama kali. Hampir semua inisiatif dalam hubungan mereka datang dari Rina. Telepon pertama, pesan selamat pagi, pertanyaan "sudah makan?", hingga rencana masa depan yang lebih serius. Rina merasa seperti sedang mendayung perahu sendirian, sementara Budi hanya duduk manis menikmati pemandangan.

Cinta mereka, jika masih bisa disebut begitu, terasa sangat tidak seimbang. Satu sisi terus memberi, sisi yang lain hanya menerima. Dan yang paling capek, tentu saja, selalu satu sisi.

Jebakan Usaha Sepihak

Kisah seperti Rina dan Budi bukanlah fiksi. Ini adalah potret nyata dari banyak hubungan yang terlihat baik-baik saja dari luar, namun keropos di dalam karena ketidakseimbangan usaha.

Banyak yang terjebak dalam siklus ini tanpa sadar. Mereka mengira pengorbanan adalah bukti cinta, padahal yang terjadi adalah eksploitasi emosional secara perlahan.

Sinyal Merah yang Terabaikan

Tanda-tandanya sebenarnya jelas, namun sering diabaikan atas nama cinta. Anda yang selalu memulai percakapan, sementara pasangan hanya merespons seadanya. Anda yang selalu merencanakan setiap pertemuan, sementara ia tidak pernah punya ide.

Anda juga yang menjadi satu-satunya pendengar dan pemberi dukungan emosional. Saat Anda punya masalah, ia justru sibuk dengan dunianya sendiri atau memberi respons dangkal. Inilah sinyal-sinyal merah yang menandakan Anda sedang berjuang sendirian.

Dalih 'Memang Begitu Orangnya'

Alasan pembenar yang paling sering digunakan adalah, "Dia memang begitu orangnya, tidak romantis," atau "Dia sibuk, jadi aku yang harus mengerti." Dalih ini terdengar mulia, tapi sebenarnya berbahaya.

Ini menciptakan standar bahwa Anda tidak pantas menerima usaha yang setara. Anda terus-menerus menurunkan ekspektasi hingga akhirnya tidak mengharapkan apa-apa lagi. Hubungan yang sehat dibangun di atas pengertian, bukan pemakluman yang tiada henti.

Mengisi Gelas yang Bocor

Memberi cinta dan perhatian pada pasangan ibarat mengisi gelas. Namun, jika Anda terus menuang air ke dalam gelas yang dasarnya bocor, sampai kapan pun gelas itu tidak akan pernah penuh.

Anda hanya akan kehabisan air, kehabisan energi. Inilah yang terjadi ketika Anda berada dalam hubungan yang timpang. Anda akan terus merasa kosong dan lelah.

Baterai Emosional yang Terkuras

Dampak paling nyata adalah terkurasnya baterai emosional. Anda menjadi mudah tersinggung, cemas, dan merasa tidak dihargai. Rasa lelah ini bukan lelah fisik yang bisa hilang setelah tidur, tapi lelah batin yang menggerogoti kebahagiaan.

Perlahan tapi pasti, rasa cinta bisa berubah menjadi kebencian atau apatisme. Anda mulai bertanya-tanya, untuk apa semua ini saya lakukan? Di titik inilah hubungan berada di ujung tanduk.

Saatnya Menarik Rem Tangan

Jika Anda merasa berada di posisi ini, inilah saatnya menarik rem tangan. Langkah pertama dan terpenting adalah komunikasi. Bicarakan apa yang Anda rasakan dengan jujur, tanpa menyalahkan.

Gunakan kalimat seperti, "Aku merasa lelah karena seringkali aku yang merencanakan semua," bukan "Kamu tidak pernah berusaha." Lihat responsnya. Jika ia peduli, ia akan berusaha berubah dan mencari solusi bersama.

Namun, jika ia defensif, tidak peduli, atau bahkan menyalahkan Anda kembali, mungkin inilah jawaban yang Anda butuhkan. Bahwa cinta yang seimbang tidak akan pernah bisa Anda dapatkan darinya. Terkadang, melepaskan adalah bentuk cinta terbesar untuk diri sendiri.



#HubunganToksik #CintaSepihak #KesehatanMental

Belanja Celana Boxer Cowok dan Cewek
LihatTutupKomentar
Cancel