Kedai Kopi Goliriang

Purnama kedelapan baru saja menghiasi langit Kampung Goliriang. Cahayanya yang lembut menyerobot deretan tanaman kakao di pekarangan rumah penduduk membentuk bayangan hitam membentang sepanjang jalan tanah liat yang membelah kampung.

Langit cerah, sementara hawa pegunungan mulai terasa menjamah kulit. Jam baru menunjukkan pukul 7 malam. Orang- orang kampung terutama anak-anak muda dan bapak-bapak masih terlihat berkeliaran. Entah itu baru kembali dari ladang atau sekedar keluar rumah mencari kehangatan di salah satu dari 2 kedai kopi di ujung barat kampung.

Mereka tampak asyik mengobrol sambil sesekali menyeruput kopi dari neaknya (gelas dari tempurung kelapa) masing-masing. Wajah keduanya tegang. Situasi sebaliknya terlihat di kedai kopi yang berada di seberang jalan. Pengunjungnya padat, santai dan dipenuhi dengan hiruk pikuk obrolan pengunjung.
"Tuh lihat kedainya Dewa Tuak. Selalu saja ramai dengan orang. Kematian si Kusno akibat racun dalam kopi 4 hari lalu sepertinya tidak ada pengaruhnya. Apa mereka juga mau mati??" Berkata si nenek tua bongkok. Matanya sayu menatap kedai di seberang. "Lalu, apa kerjamu seminggu belakangan ini, anak setan? Ayo lakukan sesuatu biar orang-orang itu mau minum kopi di kedai kita." Lanjutnya.

"Sudah saya lakukan, Eyang. Si Kusno itu hasilnya. Sayang sekali, kelanjutan ceritanya tidak semulus paha gadis perawan masa silam"

"Edan, pikiranmu ternyata tidak pernah beranjak dari onderdilnya para gadis. Hmm... tapi benar juga. Kenapa paha gadis-gadis kekinian pada kasar ya?"

"Karena modernisasi, karena gaul Eyang. Sering dipajang makanya nyamuk, lintah, semut, jari-jari nakal plus sinar matahari ikut menjamah. Begitulah jadinya. Luar dalam sama warna dan rasanya. Kan tidak sinkron dengan pepatah Perbedaan Itu Indah? Iya kan eyang?"

"Hmmm masuk akal juga kamu...."

Ya iyalah, Nek." jawab pemuda gondrong sambil cengengesan. Bangga.

"Ehhhh anak edan, jangan bercanda!!! Ayo serius..!" Bentak si nenek bongkok yang dipanggil eyang sambil membetulkan salah satu dari 5 tusuk konde di kepalanya. Setelah menyeruput kopi dia lantas berucap lirih.

"Jadi kamu yang meracuni si Kusno?"

"Hahaha bukan saya. Jelasnya atas permintaan saya. Saya minta bantuan Pendekar Penabur Racun untuk meracuni pelanggan kedai Dewa Tuak. Dia lantas merayu temannya si Tuto, pelayan kedainya si Dewa Tuak guna menaruh racun di gelas kopi pelanggan yang kebetulan waktu itu si Kusno dengan teman-temannya."

"Lalu?"

"Berhasil. Si Kusno mati keracunan. Hanya saja berita kematian si Kusno cepat sekali menyebar bahkan sampai di kerajaan. Prajurit Kerajaan Lomblen langsung datang dan meringkus teman-teman si Kusno. Bahkan menurut kabar angin, semua teman-teman si Kusno sudah dijebloskan ke penjara bawah tanah pulau Suanggi di selatan Tanjung Naga sana. Akh, tujuan kita agar kedai kopinya Dewa Tuak sepi dan bangkrut gagal total, Eyang."

"Tapi yang menaruh racun 'kan pelayannya si Dewa Tuak. Kenapa si Kodir, Si Ceker dan Si Dekil malah masuk penjara? Aneh. Lha si Dewa Tuak sendiri apa tanggungjawabnya"

"Kendala di lapangan bisa saja berubah. Barangkali si Tuto takut menaruh sendiri racun dalam kopi, sebaliknya dia memberikan racunnya pada salah satu teman si Kusno. Tentu saja dengan imbalan yang sudah saya titipkan di Pendekar Penabur Racun. Ini hanya pendapat saya saja, Eyang. Kalau si Dewa Tuak, dia hanya bertanggung jawab memakamkan si Kusno. Semua biaya ditanggung beliau."

"Heran saya, orang-orang masih saja minum kopi di sana."

"Tentu saja eyang, yang mereka ketahui si Kusno itu mati diracun temannya sendiri, bukan racun dari pihak kedainya, jadi untuk apa takut? Malah semua neak di kedai Dewa Tuak sekarang ditempel jargon-jargon unik, katanya biar tidak dilupakan begitu saja"

"Jargon apaan?"

"#KamiTidakTakut"

"Ada lagi?"

"#PapaMintaSaham"

"Hahaha edan semua!"
Belanja Celana Boxer Cowok dan Cewek
LihatTutupKomentar