Kakek, Saya, dan Pesta Monyet di Tengah Kebun

BANG ANCIS - Malam dingin. Angin dari pegunungan masuk menusuk sampai ke tulang. Saya masih kecil, tapi Kakek bilang saya harus ikut menjaga kebun jagung. Katanya, jagung-jagung itu sering jadi rebutan monyet nakal.

Saya mengangguk dengan wajah serius. Rasanya seperti ditunjuk jadi prajurit kecil. Kakek bawa parang, senter, dan jagung rebus buat bekal. Saya? Ya, cuma bawa badan kecil yang siap digendong.

Perjalanan panjang kami tempuh. Jalan menanjak, tanah licin, suara hutan menemani. Sampai akhirnya terlihat pondok kecil di tengah kebun. Saya rebah sebentar, hampir tertidur, lalu kreeek!—suara batang jagung patah.

Kakek, Saya, dan Pesta Monyet di Tengah Kebun

Kakek langsung sigap. Saya diangkat ke gendongannya. Kami lari ke arah suara. Benar saja, sekelompok monyet sedang pesta pora. Ada yang mematahkan batang, ada yang makan jagung mentah sambil lompat-lompatan. Begitu melihat kami, mereka kabur ke pohon sambil berisik.

Saya tertawa. Kakek tidak. Napasnya sudah tersengal. Kami kembali ke pondok. Baru duduk sebentar, eh, kreeek! lagi dari sisi lain kebun. Kakek pasang muka lelah, tapi tetap menggendong saya. Kami lari lagi. Monyet kabur lagi.

Begitulah sepanjang malam. Duduk sebentar, lalu lari. Kembali, lalu lari lagi. Monyet-monyet itu seakan mengatur permainan. Mereka menunggu kami di pondok, memberi jeda sebentar, lalu bikin keributan lagi. Seperti sengaja menjadikan kami tontonan.

Saya makin asyik. Bayangkan saja: Kakek ngos-ngosan, saya tertawa di punggungnya, sementara monyet kabur sambil teriak-teriak. Kalau dipikir sekarang, mungkin monyet-monyet itu justru merasa lebih pintar. Atau yang mengajarkan merekalah yang lebih pintar. Monyet-monyet dapat jagung, kami dapat lelah.

Pagi datang. Matahari muncul di balik gunung. Kebun berantakan. Jagung patah di mana-mana. Ada yang setengah dimakan, ada yang jatuh berserakan. Kakek hanya duduk diam, memandang hasil kerja kerasnya semalaman. Saya? Masih ketawa.

Kakek akhirnya berkata pelan, “Cucu, monyet lebih pintar dari kita. Mereka bisa bikin kita bolak-balik semalaman.” Saya mengangguk, masih cekikikan. Karena buat saya, malam itu bukan soal jagung hilang. Malam itu soal pengalaman kocak yang tak akan terlupa.

Bahkan sampai hari ini, setiap kali mendengar suara kreeek! entah dari bambu, pohon, atau kursi, saya selalu teringat malam itu. Malam saat Kakek, saya, dan monyet-monyet nakal bermain petak umpet di kebun jagung.

Itulah pengalaman masa kecil yang sampai sekarang masih bisa bikin saya tertawa sendiri. Lucu, sederhana, tapi penuh kenangan. Berbahagialah di alam sana, Kakek!***

Belanja Celana Boxer Cowok dan Cewek
LihatTutupKomentar
Cancel

Berita dari Gejolak

Memuat artikel...