FOMO di Media Sosial: Racun Halus yang Susah Disadari

BANGANCIS - Malam sudah larut, tapi jempol Rina masih lincah menari di layar ponsel. Cahaya dingin dari gawai itu menjadi satu-satunya penerang di kamarnya yang gelap. Matanya terpaku pada rentetan foto dan video yang silih berganti.

Temannya sedang liburan di Labuan Bajo, lautnya biru jernih. Rekan kerjanya baru saja mengunggah foto makan malam mewah di restoran bintang lima. Bahkan sepupunya yang jarang keluar rumah, kini pamer tiket konser musisi luar negeri.

Gambar Ilustrasi Artikel
Gambar dari >Pixabay

Tiba-tiba, ada rasa aneh yang menyelinap di dada Rina. Bukan murni iri, tapi lebih seperti campuran cemas, resah, dan perasaan tertinggal. Ia merasa hidupnya begitu-begitu saja, membosankan, sementara semua orang di luar sana sedang bersenang-senang. Inilah racun halus itu: FOMO, atau Fear of Missing Out.

Perasaan takut ketinggalan ini sebenarnya bukan hal baru. Namun, media sosial telah mengubahnya menjadi wabah global yang menyerang mental tanpa kita sadari. Ia bekerja seperti bisikan setan, membuat kita terus membandingkan panggung belakang kita dengan panggung depan orang lain.

Ilusi Kebahagiaan di Ujung Jari

Media sosial adalah sebuah panggung raksasa. Semua orang adalah aktor yang berusaha menampilkan versi terbaik dari kehidupan mereka. Masalahnya, kita sering lupa bahwa yang kita tonton adalah sebuah pertunjukan.

Kita menelan mentah-mentah semua kebahagiaan yang dipoles itu. Kita lupa ada puluhan foto gagal sebelum satu foto sempurna diunggah. Kita abai pada kenyataan bahwa di balik senyum lebar itu, mungkin ada cerita yang tidak seindah kelihatannya.

Panggung Sandiwara Digital

Setiap unggahan adalah sebuah naskah yang telah diseleksi ketat. Tidak ada yang memamerkan tagihan kartu kredit yang membengkak setelah liburan mewah. Jarang ada yang bercerita tentang kesepian yang mereka rasakan di tengah keramaian konser.

Inilah yang membuat FOMO begitu berbahaya. Ia membandingkan realitas kita yang penuh warna—ada sedih, senang, bosan, dan lelah—dengan fantasi orang lain yang hanya menampilkan satu warna: bahagia. Tentu saja kita akan merasa kalah telak dalam perbandingan yang tidak adil ini.

Algoritma yang Memperbudak

Platform media sosial dirancang untuk satu tujuan utama: membuat Anda terus kembali. Algoritma mereka sangat pintar dalam membaca emosi kita. Semakin kita merasa cemas atau tertinggal, semakin kita terdorong untuk terus scrolling, mencari tahu apa lagi yang kita lewatkan.

Lingkaran setan ini pun terbentuk. Semakin kita melihat kehidupan "sempurna" orang lain, semakin kita merasa tidak puas dengan hidup sendiri. Perasaan tidak puas itu membuat kita semakin kecanduan untuk melihat lebih banyak lagi, dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa mengisi kekosongan, padahal yang terjadi adalah sebaliknya.

Lepas dari Jerat Racun Halus

Menyadari bahwa kita terjerat FOMO adalah langkah pertama menuju penyembuhan. Ini bukan berarti kita harus membenci media sosial dan meninggalkannya sama sekali. Kuncinya adalah mengubah cara kita berinteraksi dengannya.

Kita perlu merebut kembali kendali atas perhatian dan perasaan kita. Kita harus belajar untuk memisahkan antara inspirasi dan intimidasi. Media sosial bisa menjadi alat yang luar biasa jika digunakan dengan bijak, bukan sebagai tolok ukur kebahagiaan.

JOMO: Sukacita yang Terlupakan

Pernahkah Anda mendengar istilah JOMO? Joy of Missing Out. Ini adalah antitesis dari FOMO. JOMO adalah seni menikmati momen saat ini, di sini, tanpa perlu khawatir dengan apa yang mungkin terjadi di tempat lain.

JOMO adalah ketika Anda bisa menikmati secangkir teh hangat di rumah sambil membaca buku, dan merasa damai sepenuhnya. Anda tidak peduli ada pesta besar di ujung kota. Kebahagiaan Anda cukup, di tempat Anda berada. Inilah kemewahan sejati di era digital.

Detoks Digital, Terapi Sederhana

Untuk mencapai JOMO, terkadang kita butuh jeda. Cobalah lakukan detoks digital secara berkala. Matikan notifikasi yang tidak penting, tentukan batas waktu penggunaan aplikasi, atau bahkan puasa media sosial selama satu hari di akhir pekan.

Gunakan waktu luang itu untuk terhubung kembali dengan dunia nyata. Telepon orang tua Anda, ajak teman mengobrol tatap muka, atau tekuni hobi yang selama ini tertunda. Anda akan terkejut betapa lebih kayanya hidup Anda di luar layar ponsel yang sempit itu.

Pada akhirnya, hidup yang paling berharga bukanlah yang paling banyak mendapatkan 'like' atau komentar. Hidup yang paling berharga adalah hidup yang benar-benar kita jalani dan kita nikmati sepenuhnya. Kebahagiaan sejati tidak memerlukan validasi online.



#FOMO #MediaSosial #KesehatanMental

Belanja Celana Boxer Cowok dan Cewek
LihatTutupKomentar
Cancel